Ditinggalkan Umat Islam, PDIP Kedodoran di Jawa
Asgar News - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tumbang di 11 provinsi dalam ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018. Berbagai kalangan menilai, kekalahan demi kekalahan yang dialami PDIP akibat berbagai faktor. Hal ini semakin menunjukkan umat Islam partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu mulai ditinggalkan umat Islam. Selain itu kekalahan PDIP ini akan berpengaruh terhadap kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang.
"Ya betul umat mulai sadar, sudah meninggalkan PDIP," kata Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Anton Tabah Digdoyo kepada Harian Terbit, Kamis (28/6/2018).
Menurut Anton, PDIP sudah ditinggalkan umat Islam karena partai berlambang kepala banteng tersebut dicurigai telah mendukung dan pro penista agama. Padahal UU jelas melarang adanya pihak yang mendukung penista agama.
"Orang yang pro penista agama bahkan mudah terima faham-faham yang kontra Pancasila seperti LGBT, komunisme, liberal, sekuler dan lainnya yang sangat bertentangan dengan agama," tegasnya.
Anton menuturkan, bangsa Indonesia telah bulat sikap Pancasila yang 18 Agustus 1945 sesuai preambul UUD 45 seperti Pancasila yang selalu kita baca, kita pelajari sampai sekarang dimana sila pertama adalah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa yang tegas menolak taham atheis, komunis, liberalis, sekuleris," tandas mantan Jendral Polri tersebut.
Dibantah
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan partainya tidak pernah mengeluarkan pernyataan atau informasi murahan 'PDIP tidak butuh lagi suara umat Islam'. Tegas Hasto, informasi yang tersebar di portal media 'abal-abal' termasuk di media sosial 'PDIP tidak butuh lagi suara umat Islam' adalah hoax dan fitnah.
Hasto menyebutkan, justru mayoritas pemilih PDIP adalah umat Islam. Dengan demikian tidak mungkin PDIP meninggalkan pemilih muslim. "PDIP sendiri lebih dari 85 persen pendukungnya basis muslim. Islam yang membangun peradaban, Islam yang meneladani tokoh-tokoh pergerakan juga. Dimana PDIP betul-betul membumikan itu," ujar Hasto belum lama ini di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Faktor Agama
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Zaki Mubarak mengatakan, di daerah yang sentimen Islamnya kuat maka bisa jadi ada Ahok efek, yang membuat pemilih muslim tidak mau mendukung calon yang diiusung PDIP.
Zaki menegaskan, faktor agama masih menjadi pilihan bagi seseorang untuk menjadi kepala daerah. Apalagi jika isu yang diangkat soal penodaan agama. Karena di Amerika Serikat pun yang sangat liberal dan maju, agama masih menjadi faktor penting dalam electoral atau pemilihan. Oleh karena itu di Indonesia jika ingin survive harus peka terhadap agama.
“Jadi parpol di Indonesia, termasuk PDIP, untuk bisa survival dalam electoral (pilkada, pilpres dan pileg) harus memiliki sensitivitas terkait isu-isu keagamaan,” tegasnya.
Kekalahan
Direktur Eksekutif Center Budget Analysis (CBA) chok Sky Khadafi menilai, kekalahan kali ini dalam merupakan keberlanjutan dari kekalahan-kekalahan sebelumnya yang telah dialami PDIP dalam ajang Pilkada. Setelah sebelumnya, lanjut Uchok, PDIP mengalami kekalahan di 44 daerah yang mengikuti pilkada serentak pada 2017 lalu.
Ia mengatakan, kekalahan yang dialami PDIP, tak semata karena adanya faktor 'Ahok Effect' semata. Namun, kata dia, terdapat banyak faktor lainnya.
"Bukan hanya persoalan lalu terkait Ahok Effect yang menjadi beban Politik PDIP dalam konteks banyak kalah calon kepala daerahnya yang diusung oleh PDIP. Kekalahan tersebut bisa juga karena salah satu faktornya karena ngototnya PDIP," katanya di Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Selain itu, lanjut dia, faktor kekalahan tersebut yang dominan adalah faktor presiden Jokowi atau 'Jokowi Effect' yang dinilai sebagai petugas partai PDIP gagal meraih simpati publik dengan berbagai kebijakannya saat ini.
"Selama ini, kenaikan harga daging, cabai, bahan pokok lainnya, bahkan nilai dollar, tidak ditangani dengan cepat. Tapi ada kesan, kenaikan harga ini dibiarkan saja, diserahkan ke mekanisme pasar, dan mencekik rakyat miskin," ungkap dia.
Di Pilkada 2018, tiga provinsi lain di Jawa memilih pemimpin barunya. Tiga daerah itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Berdasarkan hasil quick count, PDIP kalah di dua daerah dan hanya merasakan kemenangan di Jateng.
Pasangan yang diusung PDIP di Pilgub Jabar adalah Tb Hasanuddin-Anton Charliyan. Quick count berbagai lembaga menunjukkan pasangan itu ada di urutan buncit. Di Pilgub Jatim, PDIP mengusung Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno. Berdasarkan hasil quick count, pasangan tersebut kalah oleh Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak.
Kemenangan hanya dirasakan PDIP di Pilgub Jateng. Ganjar Pranowo-Taj Yasin mengalahkan Sudirman Said-Ida Fauziah di quick countberbagai lembaga survei.
Berdasarkan hitung cepat atau quick count Pilkada 2018 sejumlah lembaga survei, calon gubernur yang diusung PDIP kalah di 11 provinsi dari 15 provinsi. Sementara itu, tidak ada lembaga survei yang menggelar quick count di Maluku Utara dan Papua.
Dari 15 provinsi yang memiliki hasil quick count, PDIP hanya menang di empat daerah yaitu Pilgub Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan dan Maluku. Sedangkan pasangan calon yang diusung PDIP kalah di sejumlah provinsi di antaranya, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Berikut adalah daftar pasangan calon gubernur usungan PDIP yang keok dalam Pilkada 2018 versi quick count:
1. Sumatera Utara: Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus
2. Riau: Andi Rachman-Suyatno
3. Sumatera Selatan: Dodi Alex Noerdin-Giri kiemas
4. Lampung: Herman Hasanusi-Sutono
5. Jawa Barat: TB Hasanudin-Anton Charliyan
6. Jawa Timur: Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno
7. NTB: Ahyar Abduh-Mori Hanafi
8. NTT: Marianus Sae-Emiliana Nomleni
9. Kalimantan Barat: Karolin Margret Natasa-Suryadman Gidot
10. Kalimantan Timur: Rusmadi Wongso-Safaruddin
11. Sulawesi Tenggara: Asrun-Hugua
Dalih
Sementara itu, PDIP punya analisa terkait kekalahan tersebut. Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari, mengungkapkan, PDIP sedang mengawal tentang data manual.
"Nah kalau data manual itu lambat sekali. Jadi kalau versi quick count memang seperti itu ya (kalah di 11 pilgub), tadi aku lihat juga di analisa beberapa media," kata Eva di Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan merupakan 5 dari 11 provinsi yang tak dimenangkan PDIP. Menurut Eva, faktor ketokohan calon yang diusung hingga popularitas menjadi penyebabnya.
"Mungkin karena ketokohan yang nggak pas, strategi kampanye yang nggak pas, tapi ini by case ya," ucapnya.
Sementara, Sektretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya tak pesimistis melihat hasil quick count beberapa lembaga survei yang menempatkan dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur usungannya keok di Jawa. PDIP ingin menunggu hasil resmi pemilihan kepala daerah ini dari Komisi Pemilihan Umum.
Menurut Hasto, indikasi menang dan kalah dalam demokrasi adalah hal biasa. "Tetapi, rekapitulasi sesungguhnya tetap berdasarkan perhitungan KPU," kata Hasto di kantor DPP PDIP Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat pada Rabu, (27/6/2018).
No comments