Mencampuradukan Madzhab, Bolehkah?
Kalau pertanyaan apakah kita harus mengikut madzhab dalam menjalankan syariat ini? jawabannya bisa haram alias tidak boleh dan terlarang, tapi bisa jadi wajib alias harus, tidak bisa tidak.
Dalam kitabnya, Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma’ (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam wajib taqlid (mengikuti) mujtahid atau madzhab. Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.
Sedangkan seorang mujtahid, yang memang mampu menganalisa serta menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan hadits, ia diharamkan mengikuti sipapun itu. Yang dia harus lakukan adalahberijtihad; karena memang ia adalah ahli dalam hal itu.
Nah, tinggal di lihat dengan penuh kesadaran diri, kita masuk dalam kategori yang mana; awam kan atau mujtahid kan kita? Apakah bisa kita memahami teks-teks syariah yang ada tanpa melirik sedikitpun kepada pemaparan dan penjelasan ulama terdahulu? Seberapa baik kemampuan bahasa arab kita? Seberapa paham kita tentang maqasihd syariah? Kalau jauh dari itu semua, maka segera sadari, kita adalah awam yang hanya bisa mengikuti ulama madzhab agar selamat dalam beragama dan tidak keliru memahami al-Qur’an serta hadits Nabi s.a.w. yang suci. Karena memang pada dasarnya, mengikuti ulama-ulama madzhab tersebut itu sama juga mengikuti al-Qur’an dan hadits Nabi s.a.w.; karena memang mereka tidak mendatangkan hukum-hukum ysriah dari otak dan nafsu mereka, akan tetapi itu semua dari al-Qur’an dan hadist Nabi s.a.w..
Konsisten Satu Madzhab?
Pertanyaan lanjutannya, apakah harus konsisten dalam satu madzhab? atau juga yang biasa disebut dengan istlah talfiq, apakah dibenarkan? Ini juga masalah yang memang menjadi bahan diskusi para ulama sejak dulu. Setidaknya ada 3 pendapat ulama dalam hal ini, sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu;
Pertama, pendapat konservatif dari kelompok ulama yang mewajibkan umat Islam untuk bermadzhb satu dan tidak boleh berpindah.
Kedua, pendapat kebanyakan ulama yang membolehkan dan membebaskan umat untuk memilih madzhab mana saja yang ia suka dan boleh berpindah-pindah.
Ketiga, pendapat yang lebih rinci; yakni jika seorang dalam hal shalat memakai pendapat madzhab al-Syafi’i, misalnya. Maka wajib ia konsisten dalam hal tersebut; artinya dalam shalat tidak boleh mengambil pendapat lain selain al-Syafi’iyyah. Sedangkan masalah selain shalat, boleh dengan madzhab lain.
Ketiga pendapat di atas punya nilai positif dan juga yang pastinya tidak lepas dari kekurangan di beberapa sisi. Pendapat pertama ini adalah pendapat beberapa ulama di masa-masa terbentuknya madzhab-madzhab fiqih yang ada. Bahwa bagi mereka yang tidak sampai pada derajat mujtahid, wajib baginya mengikuti madzhab, tidak boleh tidak. Pendapat ini berguna agar syariah dan agama ini tidak terkotori dan terkontaminasi oleh tangan dan mulut-mulut orang jahil yang punya kemampuan minim dalam hal syariah yang coba memahami teks syariah secara tekstual tanpa merujuk kepada ulama. Serta menghindari orang muslim dari berbuat dalam syariah ini sesuai nafsu dan kesukaannya saja. Serta menutup pintu untuk lahirnya fatwa-fatwa nyeleneh dari pihak-pihak yang tidak otoritatif.
Sisi negatifnya, pendapat ini mengekang orang sehingga tidak ada pilihan lain, padahal dalam kondisi-kondisi tertentu, seorang muslim bisa saja tidak bisa mengikuti pendapat madfzhab yang diikuti karena sebab dan udzur yang mengharuskannya beralih ke pendapat lain. Terlebih lagi bahwa mengikuti satu madzhab saja, tidak punya landasan argumen kuat dari teks syariah.
Pendapat kedua ini lebih moderat dan sepertinya memudahkan. Karena memang agama ini mewajibkan kita untuk mengikuti ahli ilmu; “bertanyalah kepada ahli ilmu” (al-nahl: 34) tapi dalam perintah-Nya tidak ada pengkhususan kepada ahli ilmu manapun. Jadi selama memang ia adalah seorang mujtahid, layak untuk diikuti, dan tidak harus selalu satu, bisa dan boleh seorang muslim beralih ke ahli ijtihad yang lain. Negatifnya, pendapat ini dikhawatirkan membuka pintu fatwa prematur yang dihasilkan oleh orang-orang yang tidak mampu. Karena sudah terbiasa pindah sana sini, ia beranggapan bahwa seperti tidak ada masalah kalau ia melahirkan pendapat baru, padahal dirinya bukan orang yang layak. Sedangkan pendapat ketiga ini sejatinya sama seperti pendapat pertama, hanya saja ada perkembangannya. Dan sisi kelemahan dari pendapat ini, sama seperti kelemahan pendapat pertama.
Bagi penulis, sebaiknya seorang muslim itu dalam beribadah, segala amalnya itu punya sandaran argumen yang kuat dan bukan mengada-ngada. Karenanya, tidak dibenarkan seorang muslim beribadah dan mengamalkan ajaran agama tanpa mendapat bimbingan seorang ahli agama yang bisa menjadi akses baginya menuju para mujtahid-mujtahid yang ada. Dengan bahasa yang lebih dekat “berguru kepada guru”, bukan kepada buku, apalagi laman internet yang sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dengan bahasa lain madzhab awam itu madzhab gurunya. Jadi apapun yang diajarkan gurunya, itulah madzhab yang ia harus ikuti. Jangan sekali-kali mencoba untuk menafsirkan dan meneliti ayat serta hadits sendirian yang akhirnya justru menghinakan al-Qur’an itu sendiri bukan memuliakan, karena ditafsiri serampangan dengan nalar yang dangkal dan metode asal-asalan.
Wallahu a’lam.
by : Ahmad Zarkasih, Lc
No comments