cek info-info

Breaking News

Sanad Fiqih Imam Asy-Syafii ( bag-1- masyayikh- hijaz )


Dalam Tahdzib al-Asma wa al-Lughat (1/19), Imam Nawawi menuliskan ketersambungan sanad ulama-ulama madzhab al-Syafi’iyyah dari semua jalurnya ke sang maha guru, Imam al-Syafi’i. setelahnya beliau juga menuliskan sanad Imam al-Syafi’I sampai kepada rasulullah s.a.w. Beliau menyebut, ada 3 jalur yang menyambungkan ilmu Muhammad bin Idris al-Syafi’i kepada Nabi s.a.w.; Sufyan bin ‘Uyaynah, Ahli Hadis Makkah, kedua; Muslim bin Khalid al-Zinjiy, Imam sekaligus Hakim penduduk Makkah. Dan ketiga; Malik bin Anas.
Muslim bin Khalid al-Zinjiy
Seperti kebanyakan anak-anak Islam lain, hal pertama yang Muhammad bin Idris pelajari adalah ilmu Quran sekaligus menghafalnya. Di umur yang belia; 7 tahun, Muhammad bin Idrsi sudah mengkhatamkan hafalan qur’annya lengkap. Hebatnya hafalannya itu punya sanad bersambung sampai kepada Nabi s.a.w., melalui Hafidz Makkah yang mengajarinya; Ismail bin Qasthanthin.
Abu Hatim al-Razi (327 H), ketika menulis biografi (Manaqib) Imam al-Syafi’i (1/106), beliau menjabarkan ketersambungan sanad Qur’an Ismail bin Qasthanthin kepada Nabi s.a.w., melalui Ibn Abbas dan juga Ubay bin Ka’ab.   
Kecerdasan Muhammad bin Idris kecil memang sudah terlihat sejak belia. Bahkan ketika anak-anak seusianya sedang mengaji dan menulis apa yang didikte-kan oleh sang guru dari bacaan al-Qur’an, beliau tidak menulisnya karena memang tidak punya media untuk menulis. Akan tetapi beliau menghafalnya. Selesai mendikte, seluruh murid sudah menulis sedangkan Muhammad bin Idris malah sudah menghafalnya di otaknya. Sampai-sampai sang guru berkata: “aku malu kalau harus meminta iuran kepadamu”; karena memang Muhammad bin Idris hanya mendengar lalu menghafalnya.
Setelah menghafal al-Qur’an, beliau pergi ke suku Hudzail; suku di pinggiran kota Makkah yang terkenal dengan kefashihan bahasa dan kecakapan mereka terhadap gramatikal bahasa Arab beserta sya’irnya; guna memperdalam ilmu bahasa Arab.
Yaqut bin Abdullah bin Abdullah al-Rumi al-Hamawiy (626 H) dalam kitabnya Mu’jam al-Udaba’ (6/2395) menyebut bahwa Muhammad bin Idris belajar Bahasa Arab bersama kaum Hudzail itu selama lebih dari 17 tahun. Dari sini Muhammad bin Idris mendapat julukan Adiib yang artinya sang sastrawan; lunak dalam berbicara, indah dalam bertutur kata, fashih dalam berbahasa dan banyak sya’ir yang beliau kuasai.
Sampai akhirnya suatu ketika ia bertemu dengan guru Fiqih pertamanya; Muslim bin Khalid al-Zinji  (179 H), seorang Mufti dan juga Hakim penduduk Makkah yang terkagum dengan kecerdasan Muhammad bin Idris dalam berbahasa dan sya’ir.
Sebagaimana diceritakan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (1/8). Beliau (al-Zinjiy) berkata kepada Muhammad bin Idris: “Allah telah memuliakanmu di dunia dan akhirat. Tidakkah kau salurkan kecerdasanmu berbahasa untuk memahami isi al-Quran dan sunnah Nabi s.a.w. (ilmu Fiqih)?”. dari sinilah Muhammad bin Idris akhirnya sadar lalu menjadikan ilmu Fiqih sebagai objek utama pembelajarannya. Sejak saat itu, Majlis Ilmu al-Zinjiy menjadi destinasi utama Muhammad bin Idris yang selalu beliau datangi untuk mengetahui bagaimana sleuk beluk Fiqh, yang ketika itu al-Zinjiy termasuk Faqih ahl-Hadits.
Tidak salah Muhammad bin Idris memilih Guru, beliau memilih guru yang ilmunya bersanad dampai Nabi s.a.w.; karena memang Muslim bin Khalid al-Zinjiy sebelu menjadi mufti, beliau memperoleh fiqih dari Abdul Malik yang dikenal dengan Ibnu Juraij (150 H), asli Makkah, dan beliau belajar fiqih dari Faqih Makkah; ‘Atha bin Abi Rabbah (114 H), yang mengambil ilmu langsung dari 3 sahabat Nabi s.a.w.; Sayyidah ‘Aisyah, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah r.a. Sudah barang tentu ketiga sahabat Nabi s.a.w. ini mengambil ilmu dari Rasul s.a.w. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat 1/19)
Sufyan bin ‘Uyaynah
Seringnya duduk di majlis fiqih al-Zinjiy, membuat Muhammad bin Idris makin haus akan ilmu tersebut, yang kemudian membuat beliau berguru kepada Sufyan bin ‘Uyaynah (198 H) yang disebut-sebut sebagai ahli hadits-nya penduduk makkah oleh kebanyakan orang, termasuk al-Zinjiy.
Dalam al-Thabaqat al-Kubro (1/35), Ibn Sa’id menyebut Sufyan bin ‘Uyaynah sebagai ahli fiqih juga ahli hadits juga ahli tafsir, dan melahirkan beberapa kitab dalam ilmu tersebut. Muhammad bin Idris memuji gurunya, Sufyan bin ‘Uyaynah bahwa tidak ada yang punya alat fatwa selengkap alatnya Dufyan bin ‘Uyaynah tersebut. Maksudnya bahwa Sufyan bin ‘Uyaynah dalam berfatwa mempertimbangkan segala hal sedetail mungkin agar tidka terjadi kesalahan dalam berfatwa.
Beliau (Sufyan bin ‘Uyaynah) berguru kepada ‘Amr bin Dinar (126 H), Ulama berdarah Persia, lahir di yaman dan wafat di Makah. Ibn Dinar adalah satu di antara banyaknya Tabi’in yang mengambil ilmu dari tangan Sahabat Ibnu Umar r.a., dan sudah barang tentu, Ibnu ‘Umar mengambil ilmu dari sumber ilmu; Rasulullah s.a.w.
Malik bin Anas
Semua sejarawan muslim menempatkan nama Malik bin Anas sebagai guru Imam al-Syafi’i di urutan pertama; karena memang dari 2 guru yang disebutkan, Muhammad bin Idris berguru kepada Malik bin Anas lebih lama. Yakni sejak ia datang ke Madinah umur 13 tahun, sampai Malik bin Anas wafat di tahun 179 H, pada usia Muhammad bin Idris 29 tahun. Begitu tutur Imam Nawawi dalam al-Majmu’-nya (1/8)
Maka wajar sekali jika Muhammad bin Idris menjadi orang yang paling hafal Fiqih Ahl Madinah, toh beliau menetap di Madinah menemani Anas bin Malik 16 tahun. Akan tetapi, sesuai urutan masa, Malik bin Anas bukanlah guru pertama; karena Muhammad bin Idris sudah mempelajari Fiqih dari beberapa ulama Makkah sebelum ia sampai ke Madinah.  
Seringnya duduk di majlis fiqih ulama-ulama Makkah, Muhammad bin Idris penasaran dengan nama yang selalu disebut-sebut dalam majlis tersebut sebagai ulama Ahli Hijaz yang masyhur seantero Imperium Abbasiyah ketika itu; yakni Malik bin Anas, Imam Madzhab al-Malikiyah. Ketamakannya akan ilmu, membuat Muhammad bin Idris sangat bernafsu ingin berangkat ke Madinah guna belajar kepada Imam Malik.
Karena tahu, Imam Malik bukan orang sembarang, Muhammad  bin Idrsi pun berfikir untuk menjadi tamu dan murid yang juga bukan sembarang. Yang terbesit dalam fikirannya adalah bertemu imam Malik dengan membawa Hafalan kitab Imam Malik, al-Muwatha’. Sayangnya ia tidak memiliki kitab tersebut. Akhirnya dia meminjam kitab al-Muwatha’ dari seseorang di Mkkah dan menghafalnya.
Dalam Mu’jam al-Udaba’ (6/2395) disebutkan bahwa Muhammad bin Idris menghafal Kitab al-Muwatha yang berisi ribuan hadits itu hanya dalam waktu 9 malam saja, lengkap dengan sanadnya. Setelah beres menghafal, Muhammad bin Idris datang ke kantor gubernur Makkah, guna meminta surat rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur Madinah agar menemaninya bertemu Imam Malik. Beberapa sumber menyebut bahwa Gubernur Makkah ketika itu seorang kerabat dari keluarga ibunya Muhammad bin Idris.
Sampai di Madinah, Gubernur Madinah sempat mengeluh dengan surat rekomendasi yang dibawa Muhammad bin Idris soal permintaannya untuk menemaninya bertemu Imam Malik. Beliau sampai mengatakan: “wahai anak muda, berjalan kaki tanpa alas dari ujung Makkah sampai ujung madinah itu lebih mudah bagiku disbanding harus menuju rumah Malik bin Anas!”. Karena memang semua orang tahu, Malik bin Anas ulama kharisatik yang tidak asal sembarang menerima tamu.
Muhammad bin Idris akhirnya berhasil membawa sang pejabat ke depan rumah Imam Malik. Mereka disambut oleh salah seorang pembantu Imam Malik. Ia mengatakan: “kalau ingin bertanya, tuliskah dalam secarik kertas, nanti aku sampaikan dan aku sampaikan juga jawabannya. Kalau ingin periwayatan hadits, silahkan tunggu di masjid sesuai jadwal majlis beliau (Malik bin Anas)”.
Sang pejabat menjawab: “tidak! Aku ke sini untuk membawa surat penting dari gubernur Makkah untuk tuanmu. Tolong sampaikan kami ingin bertemu sekarang!”
Pembantu itu masuk sambil menutup pintu. Tidak lama ia kembali sambil membawa bangku dan meletakkannya di depan kedua tamunya. Keluarlah sang Imam dan duduk di bangku yang sudah disediakan pembantunya. Sang pejabat menyerahkan surat yang di dalamnya tertulis permintaan sang gubernur Makkah untuk Muhammad bin Idris yang ingin menjadi murid beliau. Setelah itu Muhamad bin Idris mulai mengenalkan diri sendiri kepada sang Imam.
Imam Malik lalu berkata: “Ya Muhammad. Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah telah memberikan cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan itu dengan maksiat! Engkau adalah laki-laki yang akan mempunyai kedudukan tinggi di kemudian hari. Besok, kembali ke sini lagi. Akan ada seseorang yang membacakan untukmu kitab Muwatha’-ku.”
Muhammad bin Idris kemudian berkata: “aku sudah menghafalnya, wahai Imam!”. Esoknya, ia datang kembali ke rumah Imam Malik dan “menyetorkan” hafalannya kepada sang Imam, dan Imam Malik pun kagum. Bahkan ketika Muhammad bin Idris merasa cukup dan berhenti, Imam Malik justru mengatakan: “teruskan, anak muda!”.
Muhammad bin Idris menceritakan pertemuan tersebut dan mengungkapkan bahwa Imam Malik adalah orang yang tinggi besar dengan kewibaan nampak jelas di wajahnya. “ketika ia melihatku, aku tahu bahwa Malik bin Anas adalah ulama yang Allah anugerahkan Farasah (firasat)”. Begitu kata Imam al-Syafi’Ii yang direkam oleh Imam al-Baihaqi (458 H), dalam kitabnya Manaqib al-Syafi’i (1/103).  
Setelah itu, Muhammad bin Idris menetap di Madinah mengeruk ilmu dari Imam Malik bin Anas, sampai hari wafatnya sang Imam, sebelu akhirnya Muhammad bin Idris muda meninggalkan Madinah menuju Yaman.
Lebih jauh tentang Imam Malik dan Sanad ilmu beliau, kami sudah jelaskan dalam artikel sebelumnya dalam rubric ini. Silahkan [KLIK].
Masyayikh Hijaz & Masayikh Iraq
Dr. Ahmad Nahrawi Abdul Salam, ulama masyhur Indonesia dari al-Azhar Mesir, dalam kitab beliau Imam al-Syafi’i fi Madzhabaihi al-Qadim wa al-Jadid (hal. 58) menyebutkan bahwa masa-masa Muhammad bin Idris di Hijaz (Makkah Madinah) adalah masa Tahshil al-Ilmiy; yakni fase paling optimal dalam menuntut ilmu bagi perkembangan keilmuan Muhammad bin Idris.
Sejak selesai menghafal al-Qur’an di usia 7 tahun ketika masih di mekkah, lalu berangkat ke Madinah, sampai Malik bin Anas wafat, di usia Muhammad bin Idris 29 tahun, beliau tidak punya pekerjaan lain kecuali belajar. Karenanya, di fase inilah Imam al-Syafi’i muda benar-benar menyerap seluruh apa yang ada pada fiqih Ahl al-Hijaz; baik dari ulama Makkah juga ulama Madinah.
Ini yang disebut oleh Dr. Ahmad Nahrawi sebagai Marhalah al-Tahshil al-‘Ilmiy al-Hijaziy; dan guru-guru beliau disebut Al-Masyayikh al-Hijaziyyun. Setelah Madinah, destinasi Imam al-Syafi’i muda setelah itu adalah Yaman, tidak lama kemudian menuju Iraq. Di Iraq inilah mulai fase Tahshil-Ilmi yang kedua bersama ulama-ulama Iraq yang mayoritasnya bermadzhab al-Hanafiyah. insyaAllah di artikel selanjutnya ada penjelasan terkait Masyayikh al-Iraq.
Di antara ulama-ulama Hijaz yang menjadi guru Muhammad bin Idris;
Masyayikh Makkah; Muslim bon Khalid al-Zinjiy (180 H), Sufyan bin ‘Uyaynah (198 H), Daud bin Abdurrahman al-‘Aththar (174 H), Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Dau.
Masyayikh Madinah; Malik bin Anas (179 H), Ibrahim bin Sa’d al-Anshary (184 H), Abdul Aziz Muhammad al-Darawardi (186 H), Ibrahim bin Abi Yahya al-Aslami (184 H), Muhammad bin Ismail bin Abi Fudaik (199 H), Abdullah bin Nafi’ al-Shani’ (206 H).
by : Ahmad Zarkasih, Lc

No comments