cek info-info

Breaking News

Sebelum Imam Syafi'i, Imam Madzhab Tidak Punya Ushul ?




Sejarahnya memang kitab ushul –Fiqh pertama yang dibukukan ialah kitab ushul-nya Imam Al-Syafi’i (204 H), yaitu kitab Al-Risalah. Dan karena ini beliau dijuluki oleh kebanyakan ulama sebagai imam yang menyebarkan madzhabnya sendiri, karena beliau menulis ushu-nya sendiri.
Jadi, para pengikut madzhab Imam Al-Syafi’I ketika mendapati sebuah masalah baru yang tidak ada fatwa Imam Al-Syafi’I di situ, dengan mudah mereka merujuk kepada kitab ushul-nya tersebut lalu menghukumi masalah tersebut dengan metode hukum yang sudah digariskan oleh sang Imam, dan menisbatkannya kepada madzhab Al-Syafi’iyyah.
Dan ini yang digunakan oleh para Mujtahid Mukharrij dalam meng-istinbath hukum dalam sebuah madzhab.Mujtahid Mukharrij [مجتهد التخريجadalah mereka yang meng -istinbath hukum suatu masalah yang Imam madzhab-nya sendiri tidak punya fatwa dalam masalah itu, kemudian mereka meng­-takhrij hukum masalah tersebut sesuai dengan ushul yang dipakai oleh Imam madzhabnya.
Imam Mujtahid Tidak Punya Ushul?
Yang jadi pertanyaan kemudian adalah, apakah para imam madzhab sebelum Imam Al-Syafi’i, -seperti Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Zaid bin Ali (122 H), Imam Malik bin Anas (179 H)- tidak mempunyai ushul dalam metode istinbath hukum yang mereka gunakan?
Jawabannya tentu tidak! Bagaimana mungkin seorang imam mujtahid tidak punya ushul (metode) dalam istinbath hukum? Dan mereka semua tidak mungkin menjadi seorang mujtahid kecuali ada manhaj atau ushul yang mereka punya dalam meng-istinbath sebuah hukum perkara. Karena itu mereka diikuti, karena mereka punya ushul (metode).
Hanya saja mereka tidak menulis dan membukukan semua itu, tidak seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Syafi’i.
Dari Mana Para Pengikutnya Itu Mengambil Ushul Madzhab?
Perlu diketahui juga bahwa madzhab-madzhab fiqih yang kita kenal sampai sekarang itu sama sekali tidak pernah ada deklarasi pendirian atau pembentukannya. Madzhab fqih bukanlah organisasi atau kelompok masa atau juga partai politik yang ada acara deklarasi atau peresmian sebagai informasi kepada dunia luar bahwa ada sekumpulan masa yang seudha terbentuk.
Para imam-imam madzhab tidak pernah mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai pendiri madzhab, itu tidak pernah. Mereka juga tidak pernah memaksa murid-murid mereka yang mengambil ilmu fiqih dari mereka untuk membaiatnya sebagai pimpinan madzhab.
Nah, para pengikut dan ulama madzhabnya tersebut yang mengklasifikasi dan mengkodifikasi serta membukukan ushul mereka. Dari mana? Tentu dari fatwa-fatwa dan ijtihad mereka dalam setiap perkara.
Seperti yang terjadi dalam madzhab Imam Abu Hanifah yang mana muridnya Imam Abu Yusuf (182 H) dan Imam Muhammad Al-Syaibani (189 H) yang membukukan fiqih serta ushul-nya madzhab Imam Al-Hanafiyah. Sama seperti kedudukan Abu Kholid Al-Wasithy (150 H) yang menuliskan fatwa serta riwayat Imam Zaid bin Ali dalam Al-Majmu’ Al-Kabir.
Ketika seorang imam berfatwa kemudian hasil fatwanya itulah yang menjadi objek studi bagi para ulama setelahnya dan mengeluarkan (mentakhrij) ushul atau metode yang digunakan oleh imam tersebut di setiap fatwanya.
Untuk lebih jelas, penulis akan memberikan sedikit contoh bagaimana para ulama pengikut imam Mujtahid itu dalam mengambil ushul atau metode istinbath hukum yang dipakai oleh para Imam mujtahid dalam fatwa-fatwa mereka.
Nasikh Mansukh (Ibnu Mas’ud)
Yang masyhur dari ijtihadnya sahabat Ibnu Mas’ud yang menjadi guru dari madzhab fiqih Iraq (Abu Hanifah) ialah perihal nasikh mansukh, dalam hal ini ialah masa iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwa iddahnya wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan di surat Al-Thalaq ayat 4, wanita hamil itu masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan.
Dan sahabat Ibnu Mas’ud berijtihad bahwa wanita yang hamil dan ditinggal mati oleh suaminya, iddahnya adalah mengikuti iddahnya wanita hamil, yaitu sampai melahirkan. Bukan 4 bulan 10 hari.
Beliau melihat bahwa ayat 4 surat Al-Thalaq itu turunnya belakangan dibanding ayat 234 surat Al-baqarah yang turunnya lebih dulu. Jadi ayat yang rurun belakangan itu yang diamalkan jika ada pertentangan dengan ayat yang turun sebelumnya dalam perkara yang sama.
Di sini kemudian terindikasi ushul (metode) pengambilan hukum, bahwa ayat yang turun belakangan itu me-naskh (menghapus) kandungan ayat sebelumnya. Dan ini yang dipakai oleh madzhab Imam Abu Hanifah.
Hadits Masyhur (Imam Abu Hanifah)
Dalam fatwanya beliau (Imam Abu Hanifah) mengatakan bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan jumhur selain madzhab Al-Hanafiyah, menyentuh kemaluan itu membatalkan wudhu. Karena haditsnya jelas ada dengan jalur ahad (tunggal).
Akan tetapi Imam Abu Hanifah berkata bahwa wudhu tetap dalam adanya dan tidak batal kecuali apa yang disebutkan dalam al-Quran, yaitu jika keluar sesuatu dari 2 kemaluan. Sedangkan menyentuh tidak termasuk.
Dan beliau (imam Abu Hanifah) mempermasalahkan tentang hadits yang dipakai oleh jumhur. Yaitu bahwa perkara menyentuh kemaluan itu adalah perkara yang setiap hari terjadi (umumul-balwa), kalau ini terjadi setiap hari berarti semua orang tahu ini, tapi kenapa haditsnya malah ahad (riwayat tunggal), harusnya hadits yang menyatakan batal wudhu ketika menyentuh kemaluan itu hadits masyhur.
-Hadits masyhur dalam madzhab Imam Abu Hanifah ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam tiap tingkatan sanadnya, yaitu hadits mutawatir dalam pandangan jumhur.-
Dari ijtihad beliau ini disimpulkan bahwa madzhab beliau dalam setiap perkara-perkara yang terjadi setiap hari atau yang semua orang tahu, -Dalam istilahnya disebut dengan Umuumul-Balwaitu harus disandarkan kepada teks hadits yang masyhur, tidak bisa dengan hadits ahad. Karena itu madzhab Imam Abu Hanifah banyak berbeda dengan jumhur.
‘Amal Ahli Madinah (Imam Malik)
Fatwa beliau yang terkenal ialah perihal puasa 6 hari syawal, yang beliau (Imam Malik) hukumi sebagai perkara yang makruh, bukan sunnah. Walaupun ada hadits yang menganjurkan untuk puasa syawal dengan jalur hadits ahad(tunggal).
Ketika beliau mendengar ada hadits itu, beliau mendapati penduduk madinah tidak melakukan puasa 6 hari syawal di setiap tahunnya. Dengan itu beliau menghukumi bahwa puasa 6 hari syawal itu muakruh hukumnya bukan sunnah. Beliau mendahulukan ‘Amal Ahli Madinah (pekerjaan Ahli Madinah) dibanding hadits yang diriwayatkan oleh satu orang setiap tingkatannya.
Dari sini disimpulkan bahwa madzhab Imam Malik tidak asal menerima hadits ahad sebagai sandaran dalil. Akan tetapi jika ada hadits ahad terlebih dahulu dikomparasi dengan ‘amal ahli Madinah. Jika ia bertentangan maka Ahli Madinah yang didahulukan, jika tidak maka hadits Ahad itu yang diamalkan.
Jadi madzhab Imam Malik punya ushul atau metode dalam pengambilan hukum kepada hadits ahad itu ialah bahwa hadits ahad itu tidak boleh bertentangan dengan ‘Amal Ahli madinah.
Lalu Kenapa Para Imam Tidak Membukukan Ushul Mereka?
Imam Abu Zahroh dalam kitabnya Tarikh Madzhahib Al-Islamiyah menjelaskan setidaknya ada 2 alasan kenapa para Imam sebelum masa Imam Al-Syafi’i tidak membukukan ushul mereka dalam sebuah buku agar menjadi rujukan murid dan pengikutnya?
Pertama: Kebutuhan kepada fatwa dan hasil ijtihad ketika itu –di mana mereka menjadi rujukan hukum masyarakat- jauh lebih penting ketimbang kebutuhan kepada ushul (metode) pengambilan hukum itu sendiri.
Orang-orang yang datang kepada mereka untuk bertanya tentang masalah-masalah hukum, tidak penting bagi mereka menjelaskan metodenya. Yang penting bagi mereka adalah solusi hukum atas masalah itu sendiri, apakah halal atau haram atau sunnah? Dan selalu begitu. Karena itu para Imam hanya memberikan hasil ijtihadnya kepada penanya atau peminta fatwa.
Sedangkan cara atau metode (ushul) pengambilna hukum dari Quran dan juga hadits tidak diajarkan kepada orang-orang awam. Para Imam mengajarkan ushul-nya hanya kepada orang-orang terdekat (murid khusus) beliau yang selalu mendampinginya dan saling berdiskusi serta bertukar pikiran.
Seperti Imam Abu yusuf dan Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani bagi Imam Abu Hanifah atau juga Imam Al-Syafi’i bagi Imam Malik. Juga seperti Imam Al-Muzani dan Al-Buwaithi bagi Imam Al-Syafi’i.
Kedua: Masa di mana para Imam sebelum Imam Al-syafi’i, yaitu masanya Imam Abu Hanifah atau juga Imam Zaid bin Ali apada tahun ke-1 sampai tahun ke-2 Hijriyah bukanlah masa-masa perkembangan keilmuan yang cukup tinggi, sehingga budaya tulis menulis belum sekencang dan sepesat masa yang datang setelahnya.
Barulah setelah masanya Imam Malik, perkembangan keilmuan sudah mulai terlihat. Dibuka dengan beliau sendiri yang mulai menulis kitabnya sendiri yaitu Al-Muwaththo’, karena melihat pentingnya peng”-kekal”-an fatwanya dalam sebuah buku guna menjaga agar tidak hilang.
Makin pesat perkembangannya ketka zaman Imam Syafi’i, terlebih lagi pengaruh khalifah ketika itu, yaitu Harun Al-Rasyid yang sangat membuka pintu kreatifitas dalam segala bidang keilmuan. Itu yang menjadikan ulama pada zaman Imam Syafi’i dan setelahnya punya ghirah yang kuat untuk menulis.
Wallahu a’lam.

No comments